Pengertian Memperingati Satu Muharram atau Malam Satu Syuro

Bagi kaum muslim, pergantian tahun hijriyah 1 Muharram biasanya diisi dengan pengajian dan tasyakuran atau doa bersama. Kaum muslim menjadikan momentum tahun baru hijriah yaitu satu Muharram tersebut sebagai bahan intropeksi bersama untuk mengingat peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya meninggalkan tanah kelahirannya di Mekkah menuju Madinah untuk menghindari gangguan kaum Qurais yang sangat benci pada Muhammad SAW lantaran membawa ajaran baru Islam pada masa itu.
Para pakar sejarah mengatakan, kata Hijriah sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu hijrah yang artinya pergi meninggalkan. Rombongan Nabi Muhammad SAW yang pergi itu kemudian disebut sebagai kaum Muhajirin atau orang-orang yang pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Kaum muhajirin tersebut kemudian mendapat pertolongan oleh penduduk Madinah yang disebut sebagai kaum Ansor atau kaum yang menolong orang-orang Muhajirin. Peristiwa hijrah tersebut dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW menjadi titik tolak yang yang sangat penting untuk kejayaan Islam.

Sebab, sejak peristiwa itu Nabi Muhammad SAW dapat menghimpun kekuatan yang solid untuk melawan kaum Qurais dan merebut Mekkah atau yang biasa disebut dengan Fathul Mekkah (penaklukan Mekkah) dengan damai tanpa ada peperangan.

Karena menjadi titik tolak yang penting, maka peristiwa hijrah tersebut dijadikan landasan sekaligus penanda dalam pembentukan kalender Islam di masa Khalifah Umar bin Khattab. Kalender hijriah sendiri memiliki 12 bulan sama halnya dengan kalender Masehi dan bulan Muharam adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam tersebut.

Sudut pandang lain, Satu Muharram atau biasa di sebut Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).

Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat pada weton legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan kegiatan ibadah.

Baca juga :
Agama Apa Yang Paling Terbaik?
Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun sebelumnya, menghadapi tahun baru di esok paginya.

Tradisi lainnya adalah Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, Yang paling mudah ditemui di Jawa khususnya di seputaran Yogyakarta adalah Tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit. Di antara tradisi tersebut ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan malam satu suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan ruwatan dan juga pencucian benda benda pusaka.

Mengenahi sejarah pada malam satu Muharram sebaiknya kaum muslim memperingati pergantian tahun tersebut yang diisi dengan doa bersama (doa akhir tahun) dzikir dan pengajian agar dapat mengambil nilai-nilai perjuangan di balik peristiwa hijrah sekaligus berharap untuk dapat memperoleh kejayaan dan keselamatan di tahun-tahun berikutnya ini akan lebih bagus.

Bagi masyarakat muslim Jawa memperingati satu Muharam atau biasa mereka sebut satu suro juga dengan jalan tirakat melek'an ( tidak tidur) hingga menjelang subuh. Bahkan di masyarakat kejawen, sebagian dari mereka melakukan ritual semedi atau bertapa di tempat yang dianggap sakral seperti gunung, Gowa dan tepi laut.

Selain itu, bagi masyarakat Jawa malam satu suro juga diisi dengan ritual memandikan benda pusaka seperti keris, tombak dan batu akik yang diyakini memiliki kekuatan gaib sehingga ritual tersebut sangat terkesan mistis. hii...ngeri

Secara historis, masyarakat Jawa telah mengenal ritual malam satu suro sejak masa pemerintahan Sultan Agung, raja Mataram Islam yang memadukan antara kalender Saka dan hijriyah. Bagi masyarakat Jawa, bulan suro sebagai awal tahun Jawa dianggap sebagai bulan yang sakral sehingga dianggap tepat untuk melakukan renungan dengan jalan lelaku atau mengendalikan hawa nafsu untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa.